Pelaksanaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tetap Perlu Transparansi
Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin. Foto : Andri/Man
Pemerintah resmi menyerahkan Surat Presiden (Surpres) perihal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virusdisease 2019 (Covid-19) ke DPR RI. Beleid tersebut bertujuan memberikan dana tambahan penanganan pandemi virus corona dengan nilai mencapai Rp 405,1 triliun untuk sejumlah stimulus di bidang kesehatan, sosial, ekonomi dan bidang strategis lainnya.
Menanggapi Perppu tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin menilai bahwa jika dilihat dari sisi manfaat stimulusnya, keempat sektor yang menjadi fokus utama pada peraturan pemerintah itu sudah cukup memadai. Meski demikian, dirinya menekankan bahwa implementasi peraturan itu harus dibarengi dengan implementasi dan transparansi penganggaran jika nantinya disetujui mekanisme politik yang berjalan di DPR RI.
“Perppu sudah cukup memadai, namun harus dibarengi dengan implementasi dan transparansi penganggaran apabila nanti disetujui oleh DPR. Harus dipastikan melalui fungsi pengawasan. Teknis distribusi anggaran pada keempat sektor juga harus dialokasikan dengan data yang valid dan mutakhir untuk masyarakat yang kehilangan mata pencaharian karena Covid-19 sehingga bisa tepat sasaran," kata Puteri dalam pesan singkat kepada Parlementaria, Jumat (3/4/2020).
Politisi Partai Golkar ini mengajak semua pihak untuk merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan, dan UU MD3, yang secara jelas dikatakan bahwa DPR RI berwenang hanya untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu yang diajukan oleh Pemerintah.
“Dalam tatib (tata tertib) tidak ada ketentuan khusus soal pembahasan Perppu. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, soal persetujuan Perppu Ormas atau Ases Informasi Perpajakan misalnya, Perppu tetap dibahas dalam pembicaraan Tk.I dan pengambilan keputusan di Tk. II melalui Paripurna," terang legislator daerah pemilihan Jawa Barat VII itu.
Dalam pembahasan itu, lanjut Puteri, Alat Kelengkapan Dewan (AKD yang ditunjuk oleh Badan Musyawarah (Bamus), dapat memanggil ahli atau pihak terkait mengenai Perppu. Kemudian, masing-masing Fraksi memberikan pandangannya apakah nantinya menyetujui atau tidak menyetujui atas Perppu yang diajukan tersebut, namun dengan tidak mengubah substansi dari Perppu itu sendiri.
“Untuk Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini, nanti Bamus yang akan menunjuk siapa yang melakukan pembahasan. Menurut tatib, kalau substansinya terkait dengan lebih dari 2 Komisi, maka akan dibahas di Baleg atau Pansus. Banggar untuk APBN di tingkat I. mungkin Banggar juga terkait karena dalam Perppu ini ada perubahan APBN. Tapi kembali lagi, tergantung putusan Bamus," pungkasnya.
Polemik mengenai Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menguat tatkala sejumlah Anggota DPR turut memberikan pandangannya mengenai risiko penyelewengan dana mengingat besarnya alokasi tambahan dana yang diajukan pada Paripurna. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sampai harus berkoordinasi dengan Kepolisian, KPK, dan BPK agar terhindari dari segala kemungkinan moral hazard. Ia menyatakan, para pihak yang menegakkan Perppu ini dilindungi oleh hukum.
“Anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana jika melakukan tugas sesuai Perppu. Sepanjang dilakukan bukan tindakan konflik kepentingan, korupsi, menghindari moral hazard. Agar mereka yang jahat dan buruk yang sudah ada di sektor keuangan tidak memanfaatkan kondisi ini," papar Sri Mulyani dalam konferensi pers bersama Ketua DPR RI, Kamis (2/4/2020). (alw/sf)